Ajeg Bali, Separatisme Etnis atau Nasionalisme Nusantara?
A very good piece from I Wayan Juniartha (actually a journalist of The JakartaPost)
http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/8/16/b20.htm
Ajeg Bali, Separatisme Etnis atau Nasionalisme Nusantara?
Oleh I Wayan Juniartha
Ajeg Bali mungkin adalah istilah yang paling sering diperbincangkan dan diperdebatkan manusia Bali tahun-tahun belakangan ini. Sayangnya, sebagian besar perbincangan tersebut tidak lebih dari pengulangan prasangka dan kesalahpahaman.
Sebagai penggerak utama gerakan Ajeg Bali, adalah wajar kalau Kelompok Media Bali Post (KMB), terutama sang pemimpin Satria Naradha, menjadi sasaran utama dari berbagai prasangka dan kesalahpahaman tersebut. Sejumlah prasangka sesungguhnya begitu banal sehingga tidak perlu mendapat tanggapan apa-apa. Salah satu contohnya adalah kecurigaan bahwa gerakan Ajeg Bali, yang mengejawantah melalui Bali TV dan Koperasi Krama Bali (KKB), adalah strategi populis Satria Naradha untuk menjadi gubernur Bali mendatang.
Sejumlah petinggi politik begitu yakin akan kebenaran prasangka ini, sampai-sampai mereka berebutan menawarkan kursi kelas I dan kelas II kepada Satria Naradha. On the record, hingga tulisan ini dibuat Satria Naradha masih yakin bahwa kursi wartawan adalah swadharma-nya yang sejati.
Sejarahlah yang akan membuktikan apakah prasangka ini benar atau tidak. Apakah Satria Naradha adalah satu dari ribuan binatang pemangsa politik yang saat ini mengepung kita ataukah mercusuar baru dari suara kesadaran pulau ini.
Sejumlah prasangka serta kesalahpahaman lainnya layak mendapat perhatian lebih. Pertama, karena substansinya yang panas. Kedua, karena yang melontarkannya adalah orang-orang berbobot; sejumlah intelektual, tokoh masyarakat, bahkan di kalangan wartawan sendiri.
Umumnya, prasangka dan kesalahpahaman mereka berkisar pada tujuan dan dampak buruk dari gerakan Ajeg Bali. Dalam pandangan mereka, Ajeg Bali adalah upaya penguatan identitas etnis yang salah kaprah, yang akan berdampak pada lahirnya paranoia kultural, xenophobia, chauvinism dan separatisme.
Dalam bahasa yang lebih sederhana, Ajeg Bali ditujukan untuk memperkuat manusia Bali sedemikian rupa, sehingga manusia Bali akan mampu melawan dan mengusir masyarakat pendatang dari pulau ini. Hasil puncaknya, sebuah Bali yang merdeka!
Dalam konteks ini, warung Bakso Krama Bali dipandang dengan penuh curiga sebagai sebuah stratagem demonik, sedangkan Bakso Malang, Warung Banyuwangi, Sate Madura dan bahkan Warung Muslim dipandang sebagai entitas ekonomi yang wajar-wajar saja.
Dalam konteks ini, KKB dinilai sebagai pengumpulan energi xenophobic, sedangkan bank syariah dipandang sebagai terobosan ekonomi yang cerdas.
Cara pandang yang asimetris dan tidak konsisten ini saja telah membuktikan bahwa prasangka tersebut sesungguhnya tidak memiliki dasar yang kuat.
Dalam masterpiece-nya ''Race and Culture'', Thomas Sowell menguraikan betapa penguatan identitas etnis adalah gejala umum di berbagai belahan dunia. Hal itu terjadi sebagai respons terhadap dahsyatnya tekanan globalisasi dari korporat-korporat transnasional, menipisnya sumber daya ekonomi dan ekologi, serta sebagai upaya mempertahankan keunikan identitas budaya di tengah kepungan budaya dunia yang seragam. Uraian Sowell di atas bisa digunakan untuk melukiskan motif dasar dari Ajeg Bali.
Bahwa Ajeg Bali bukanlah sebuah gerakan yang anti-pendatang sesungguhnya bisa dilihat pada rumusan tentang Ajeg Bali yang dihasilkan pada pertemuan kecil cendekiawan Bali beberapa tahun silam. Ajeg Bali dimaknai sebagai kepercayaan diri kultural manusia Bali untuk secara dinamis melakukan berbagai perubahan dalam menghadapi tantangan zaman tanpa meninggalkan kebijakan-kebijakan tradisional yang diwariskan oleh sejarah.
Jelas sekali bahwa Ajeg Bali itu tidak statis, tetapi dinamis. Jelas sekali bahwa Ajeg Bali bertujuan membangun kepercayaan diri kultural manusia Bali dan bukannya untuk mengusir saudara-saudara kita yang Muslim, Kristen ataupun Buddha.
Jelas pula bahwa hingga saat ini, tidak pernah ada upaya sistematis, terstruktur, massif dan massal untuk melakukan kekerasan maupun untuk menggusur paksa warga pendatang dari berbagai lahan ekonomi yang mereka tekuni.
Satria Naradha sendiri berkali-kali menyatakan bahwa KKB didirikan bukan untuk melawan atau mengusir pendatang, melainkan untuk menyadarkan dan mendidik manusia Bali agar mau bekerja keras, agar tidak semata-mata bergantung pada gemerincing dolar dan gaya hidup mewah yang ditawarkan pariwisata.
Jika hal ini tidak dilakukan sejak dini, Satria Naradha khawatir bahwa suatu saat nanti, kemalasan orang Bali akan mendorong lahirnya kecemburuan sosial dan ekonomi yang pada akhirnya memicu terjadinya konflik antara warga Bali dan pendatang.
Dalam perspektif ini sangat jelas, bahwa legacy Satria Naradha dan KMB yang paling nyata adalah keberhasilan mereka untuk mendidik orang Bali agar berani mengambil pekerjaan-pekerjaan yang dulunya mereka pandang dengan sebelah mata.
Prasangka bahwa Ajeg Bali adalah gerakan separatis pun kehilangan landasannya saat sepak terjang Satria Naradha dan KMB diamati dengan lebih seksama.
Ketika polemik mengenai RUU APP mencapai puncaknya beberapa bulan lalu, sejumlah tokoh Bali sudah melontarkan ancaman tentang Bali Merdeka. Satria Naradha adalah tokoh pertama yang secara terang-terangan menolak ancaman itu. Bali, menurutnya, tidak akan pernah memisahkan diri dari NKRI.
Saat sejumlah anggota Pansus RUU APP DPR-RI mengunjunginya, Satria Naradha menghadiahi mereka dua buah bendera Merah Putih.
Uniknya lagi, dalam setiap ritual penyucian Hindu yang diadakan KMB di Bali dan berbagai daerah lainnya, belasan bendera Merah Putih selalu dipancangkan.
Pada saat yang bersamaan, Satria Naradha serta Bali TV berperan penting dalam membidani lahirnya sejumlah televisi lokal, dari Yogya TV, Cakra TV, Bandung TV, hingga yang terbaru; Sriwijaya TV. Kabarnya Aceh TV akhir Agustus ini segera menyusul.
Niatnya, adalah memperkuat posisi tawar kebudayaan-kebudayaan daerah, memberdayakan masyarakat dan kepentingan lokal, serta pada akhirnya memperteguh semangat Nusantara. Satria Naradha pernah mengatakan bahwa kalau semua daerah di Indonesia mampu mengajegkan kebudayaan mereka maka Nusantara akan gilang-gemilang lagi.
Bahasa simbolis bendera Merah Putih serta bahasa kongkret televisi-televisi lokal, jelas-jelas menunjukkan bahwa Satria Naradha tidaklah mendambakan sebuah Bali yang merdeka. Yang diimpikannya adalah sebuah Indonesia yang tidak hanya utuh, tetapi juga menghormati kegemilangan berbagai kebudayaan daerah yang menjadi landasan hidupnya.
Satria Naradha bukanlah manusia sempurna, KMB bukanlah sebuah institusi yang tanpa cela. Namun, harus diingat bahwa saat ini Satria Naradha dan KMB adalah satu dari sedikit kelompok manusia di Bali yang benar-benar serius berupaya menjaga peradaban Bali dan peradaban Nusantara.
Oleh karenanya, setiap ketidaksempurnaan Satria Naradha dan KMB seyogianya disikapi dengan kecintaan di antara sesama sahabat; dengan teguran dan bukannya sindiran; dengan dialog dan bukannya permusuhan.
Hari ini Bali Post genap berusia 58 tahun. Sungguh sebuah kesempatan yang sempurna untuk mengulurkan tangan mengucapkan selamat serta memberikan teguran jika ada yang tak berkenan di hati. (*)
0 Comments:
Post a Comment
<< Home