Saturday, September 23, 2006

Puputan di Pulau Seribu Pura

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2006/9/21/o2.htm

SERATUS tahun lalu terjadi tragedi di Pulau Dewata. Peperangan yang terjadi antara kolonialis Barat dan raja Hindu yang penuh harga diri, yang tidak mau memenuhi tuntutan orang Belanda.

---------------------------------

Hubungan Belanda dan Bali

Pada 9 - 25 Februari 1597, tiga awak kapal Belanda dari Armada Belanda di bawah pimpinan Cornelis Houtman yang sedang berlabuh di pantai selatan Bali, tinggal di daratan. Mereka disambut hangat oleh masyarakat setempat, di antaranya adalah Raja Bali sendiri. Para awak kapal tersebut berhasil mendapatkan air minum dan keperluan-keperluan lain untuk perjalanan pulang ke Belanda.

Salah satu awak kapal yang benama Aernoudt Lintgens menulis laporan lengkap mengenai apa yang mereka alami selama di Pulau Bali. Sedangkan dua awak kapal yang lain tidak mau meninggalkan pulau surga itu.

Pada era VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) sekitar 1602 1800 dan awal abad ke-19, hubungan antara Belanda dan Bali terjalin tetapi pihak Belanda tidak merasa perlu untuk mengadakan konfrontasi dengan raja-raja, apalagi mendirikan pemerintahan Belanda di sini. Tetapi sikap tersebut berubah pada tahun 1846. Pada saat itu Bali terbagi dalam delapan kerajaan yang masing-masing memiliki pemerintahannya sendiri. Setelah tiga kali ekspedisi militer selama 1846-1849 maka kekuasaan Belanda di Bali diakui secara resmi pada 13 Juli 1849.

Kesepakatan politik yang menyatakan bahwa semua raja di Bali mengizinkan pemerintahan kolonial Belanda di Betawi untuk berperan dalam pemerintahan di Bali pun dibuat. Sebagai contoh adalah dikirimkannya pasukan Belanda untuk membantu Raja Buleleng memadamkan pemberontakan di wilayahnya.

Di kerajaan utara dan barat (Buleleng dan Jembrana), hanya seorang petugas pemerintah yang ditempatkan di sana, tetapi di Kerajaan Gianyar dan Karangasem berada langsung di bawah pengawasan pemerintah Belanda. Keempat negara Gouvernemen itu dipimpin oleh seorang bupati. Pada 1 Juli 1882, Pulau Bali dan Pulau Lombok menjadi satu karesidenan bersama dan Mr. Hoos terpilih menjadi Residen Bali-Lombok dan bertempat tinggal di Singaraja.

Di bidang pos, tidak terjadi banyak peristiwa. Pada 1 Mei 1873 di pantai Buleleng yang terletak 3 km di sebelah utara Singaraja terdapat sebuah kantor pos pembantu. Cap pos yang dipakai dalam kader dieja Boeleling. Pada 17 Oktober 1888 Kantor Pos Pembantu tersebut dikembangkan menjadi Kantor Pos. Pada tahun 1896, nama Kantor Pos tersebut berubah menjadi Singaradja. Tidak diketahui apakah lokasi Kantor Pos tersebut juga dipindahkan. Fakta yang didapatkan hanya bahwa sampai dengan Maret 1896 Kantor Pos tersebut memakai cap pos Buleleng berbentuk segi empat dan sejak April 1896 memakai cap pos Singardja.

Sementara itu, suasana di Bali tetap tegang. Keempat kerajaan yang memiliki pemerintahan sendiri seperti Badung, Bangli, Klungkung, dan Tabanan terus-menerus berusaha untuk menghindari campur tangan dari luar. Di lain pihak, pemerintah Hindia Belanda tidak bisa menutup mata terhadap sengketa antara raja-raja sendiri.

Hadiah Dewa-dewa

Pada 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Koemala yang berasal dari Banjarmasin (Kalimantan) terdampar di pantai Sanur karena laut yang kurang dalam. Keesokan harinya semua barang yang ada di atas kapal lenyap. Pemerintah Belanda menganggap perampasan itu sebagai kelalaian Kerajaan Badung. Penyelidikan oleh Residen J.Eschbach dan Kontrolir H.E.J.F. Schwartz membuahkan tuntutan kepada kedua raja Kerajaan Badung berupa ganti rugi sebesar 3.000 ringgit untuk Kwee Tek Tjiang, pemilik kapal tersebut.

Para raja Badung menolak tuntutan ganti rugi tersebut berdasarkan hukum tawan karang. Akhirnya pemerintah Hindia Belanda mengambil tindakan untuk menghentikan ekspor dan impor untuk Kerajaan Badung sejak 7 Januari 1905. Penghentian ini merugikan juga para nelayan Badung. Raja Tabanan yang mendukung raja-raja Badung dan ikut melawan pemerintahan Gouvernemen mengalami penghentian ekspor dan impor pula sejak 27 April 1906.

Tetapi, penghentian ekspor dan impor tersebut tidak menghasilkan hal-hal yang diharapkan oleh Gouvernemen. Sebaliknya, raja-raja Bangli dan Klungkung juga memilih untuk mengambil sikap yang sama dan menolak untuk berunding dengan utusan khusus Gouvernemen untuk urusan Bali, F.A. Liefrinck.

Hampir dua tahun berlalu tanpa perkembangan apa pun. Gubernur Jenderal J.B. van Heutz, karena ia ingin menjaga nama baiknya, pada 17 Juni 1906 mengirim peringatan terakhir kepada raja-raja tersebut. Kerajaan Badung dituntut untuk memenuhi ganti rugi sebesar 3.000 ringgit beserta ongkos blokade sebelum 1 September 1906 dan Tabanan dituntut untuk ikut memblokade Badung.

Jika kerajaan Badung tetap pada pendiriannya, pihak Gouvernemen akan menggunakan kekuatan militer untuk memaksa mereka membayar ganti rugi. Namun, raja-raja tetap menolak untuk memenuhi ganti rugi dan mereka balik menuntut pemerintah Gouvernemen untuk membayar 1.500 ringgit per hari sebagai ganti rugi blokade tersebut.

Akhirnya Van Heutz memutuskan untuk mengirim pasukan militer ke Bali di bawah pimpinan Mayor Jenderal M.B. Rost van Tonningen. Pengiriman pasukan militer ini dimaksudkan untuk memaksa kerajaan Badung dan Tabanan dan kerajaan-kerajaan lain yang memberontak melawan pemerintah Gouvernemen untuk tunduk.

Pada 11 September 1906 Komisaris Pemerintah Liefrinck menambahkan sebuah tuntutan baru kepada raja-raja Bali untuk mengizinkan pasukan Gouvernemen masuk ke wilayah mereka.

Raja-raja Bali tetap pada pendirian mereka. Satu hal yang sangat memalukan bagi orang Bali adalah kehilangan muka. ''Lebih baik mati daripada menjadi raja dengan cara seperti itu,'' ujar salah satu Raja Badung, Goesti Gde Ngoerah Denpasar, sesaat sebelum ia meninggal.

Puputan 20 September 1906

Pada 14 September 1906 pasukan angkatan darat dan laut Gouvernemen mendarat di pantai Sanur dan membangun markas (bivak). Sepanjang waktu Denpasar dihujani tembakan oleh angkatan laut, tetapi belum ada serangan yang sebenarnya. Baku tembak antara kedua belah pihak terus berlangsung dan akhirnya pasukan Gouvernemen diarahkan menuju Denpasar. Puncak serangan terjadi 20 September 1906 saat Denpasar diserang dari sebelah utara untuk merebut istana raja.

Tidak ada harapan bagi warga Denpasar untuk menang dan akhirnya sebuah drama besar terjadi. Laporan langsung dari pihak Gouvernemen berbunyi: Walaupun begitu, suatu massa yang besar dan kompak, semuanya berpakaian adat berwarna putih dan siap mati, di antaranya raja sendiri dan keluarganya, bersenjata tombak pendek, melakukan serangan kepada kita, yang mereka namakan puputan.

Tembakan terus-menerus ke kelompok massa tersebut menghasilkan efek yang mengerikan. Hampir seluruh massa mati tertembak, termasuk wanita dan anak-anak, yang menyerang menuju pasukan Gouvernemen dengan keris atau tombak tanpa ragu.

Perintah berulang-ulang kepada massa untuk menyerah dan meletakkan senjata tidak digubris dan usaha untuk mengambil senjata mereka tanpa kekerasan gagal total, bahkan hanya menambah korban di pihak Gouvernemen.

Di antara jeda tembakan oleh pasukan Gouvernemen, massa yang selamat langsung membunuh yang terluka dan maju menyerang pasukan Gouvernemen secara membabi buta dengan senjata tajam.

Setelah itu, pasukan komandan Rost van Tonningen dikerahkan menuju wilayah timur dan selatan Denpasar. Di tempat itu, di Puri Pamecutan yang merupakan tempat tinggal Gusti Gde Ngurah Pamecutan dan keluarganya, terjadi aksi bunuh diri dengan ritual yang serupa.

Lagi-lagi musuh tidak berhenti menyerang sampai mereka hampir dimusnahkan total dan mereka juga langsung membunuh yang terluka.

Kepala rumah sakit lapangan menulis di atas kartu pos bertanggal 27 September 1906: Hari kedua pendaratan kita, saya melihat serangan tombak kepada markas (bivak) kita tetapi selain itu saya tidak dapat melihat banyak karena saya harus tetap di tempat. Koran-koran akan memuat berita ini.

Sumber-sumber resmi melaporkan bahwa 600 orang mati dan 200 orang terluka di pihak kerajaan Bali. Dari pihak Gouvernemen terdapat 4 orang mati dan 18 orang terluka. Mayat raja-raja dikremasi sesuai dengan adat Bali.

Pada 27 September 1906 Tabanan diamankan tanpa perlawanan menyusul Bangli dan Klungkung yang diamankan lebih dulu pada 17 Oktober 1906. Ekspedisi militer ini dibubarkan pada 1 November 1906.

1 Comments:

At 3:51 PM, Blogger Anak Agung Ngurah Gde Sapteka said...

See about reconstructional map of Puri Denpasar year 1906 at http://www.sapteka.net/OldSiteMapOfPuriDenpasar.htm

Regards,
Sapteka

 

Post a Comment

<< Home