Monday, August 21, 2006

Isu Otonomi Khusus di Bali

http://www.prakarsa-rakyat.org/artikel/inisiatif/artikel.php?aid=8128&PHPSESSID=aaa4cbdc8c77cd280133f32fe8c0a2d5

Bali, sebuah propinsi yang terdiri dari satu pulau induk dengan empat anaknya, sampai saat ini masih dianggap sebagai satu wilayah yang istimewa. Sebelum tahun 1997 pulau Bali memiliki lima pulau kecil, namun satu pulau tidak lagi bisa disebut pulau karena sudah ‘disambung’ secara paksa dengan pulau induknya. Dulu, hal tersebut dilakukan katanya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dari sektor pariwisata dengan cara membangun fasilitas penunjang pariwisata. Namun bukan kesejahteraan yang meningkat, melainkan sebagian besar masyarakatnya harus berusaha keras mempertahankan hidupnya karena sumber mata pencaharian mereka dihancurkan. Lingkungan mengalami degradasi dan hingga sekarang megaproyek tersebut masih dimangkrakan. Sektor ini pulalah yang dianggap sebagai penyebab terjadinya degradasi moral dan lingkungan di bagian selatan pulau induknya. Ironisnya, sektor inilah yang kemudian ingin dijadikan sebagai alasan menuntut otonomi khusus (otsus) Bali, untuk kedua kalinya.

Isu Otonomi Khusus di Bali

Sebuah rapat tertutup sedang berlangsung di RM Bendega di Renon, Denpasar. Rapat itu dihadiri oleh beberapa orang akademisi, majelis madya pakraman dan pengurus partai politik yang menjadikan dirinya sebagai tim perumus otsus Bali. Mereka sedang mematangkan kerangka konsep otsus yang akan diperjuangkan ke pusat melalui pembuatan rancangan UU otonomi khusus Propinsi Bali. Pematangan yang dilakukan berkisar pada penampilan materi yang akan diperjuangkan, siapa yang akan mempresentasikan, dan strategi lobi ke pusat berdasarkan kegagalan tahun 1999.

Dikatakan, kerja tim perumus otsus Propinsi Bali beranjak dari sebuah konsep awal sesuai amanat UUD 45 Bab V pasal 18 A ayat 1 yang menyebutkan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten, kota atau antara propinsi dan kabupaten/kota diatur dalam UU dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. Dalam pasal 18 B disebutkan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan UU. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam UU tersebut. Amanat tersebut kemudian dituangkan dalam pasal 2 ayat 8 dan 9 UU nomor 32 tentang Pemerintah Daerah.

Salah satu anggota tim perumus, Wayan Koster mengatakan bahwa sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan setingkat UU atau ketetapan MPR-RI yang merumuskan secara lebih definitif pengertian kekhususan dan keragaman daerah itu. Atas dasar itulah tim perumus berpandangan bahwa sangat terbuka peluang bagi daerah Bali untuk merumuskan karakteristik kekhususan itu secara lebih nyata dan rasional yang bisa dijadikan pertimbangan kuat memperjuangkan otsus daerah Bali. Maka, dalam rapat tersebut terungkap bahwa yang paling tepat untuk dijadikan karakteristik kekhususan Bali adalah budaya beserta adat istiadat yang bernapaskan Hindu, yang selama ini menjadi daya tarik pariwisata daerah sekaligus membingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Sebelumnya, Presidium KMHDI I Made Budi Arsika dalam Bali Post (2 September 2005) mengatakan bahwa dengan adanya otsus Pemda Bali bisa memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk menggarap pariwisata lebih besar. Menurutnya Bali hanya punya aset pariwisata sebagai salah satu sumber pendapatan daerah. Sumber pariwisata inilah yang harus terus dijaga dan dilestarikan agar pendapatan dari sektor ini bisa terus mengalir. Menurutnya juga, otsus bisa menjadi solusi agar pariwisata bisa berkembang lebih pesat, sementara adat istiadat budaya dan agama di Bali tetap terjaga. Hal itu dikarenakan anggapannya bahwa dengan menjaga dan melestrikan aset tersebut, rakyat Bali juga merasa terpelihara dari ancaman eksplorasi industri pariwisata yang lambat lain bisa menggeser rambu-rambu hukum adat dan budaya masyarakat.

Lagi, lagi, dan lagi, pariwisata dijadikan alasan orang Bali melakukan satu tindakan, termasuk berjuang untuk mendapatkan otonomi khusus bagi daerahnya. Bukan satu hal yang berlebihan jika sebagian orang kemudian mengatakan bahwa saat ini orang Bali mempunyai satu dewa baru yang sangat diistimewakan: Dewa Pariwisata yang katanya siap mendatangkan ‘dollar’ untuk mengentaskan kemiskinan yang ada di Bali. Benarkah? Mengapa harus menuntut otsus dan mengapa harus pariwisata? Ada yang mengatakan bahwa hanya otsus yang bisa mempertahankan dan melestarikan keajegan Bali, baik itu ajeg agama Hindu, budaya, adat-istiadat, maupun kesejahteraan yang merata di seluruh Bali (melalui pariwisata budaya). Bagaimana caranya? Bukan hanya kegagalan perjuangan otsus pertama yang bisa dijadikan sebagai dasar pembelajaran, mereka yang menginginkan otsus sebaiknya juga belajar dari dalam dirinya sendiri, dari apa yang mereka miliki, seperti yang terjadi di Tenganan Pegringsingan, sebuah desa adat yang terletak di bagian Timur Bali.

Belajar dari Tenganan Pegringsingan

Sudah cukup, wilayah kalian sudah cukup luas.” Dewa Indra mengatakan hal itu sambil melambaikan tangan dari atas Batu Madeg kepada wong peneges, leluhur orang Tenganan, yang berasal dari Bedahulu di Gianyar. Wilayah yang kemudian disebut Tenganan Pegringsingan ini merupakan hadiah Dewa Indra kepada prajurit kerajaan Bedahulu yang setia dan pandai karena telah berhasil menemukan Oncesrawa, kuda kesayangan Dewa Indra, walaupun ketika ditemukan sudah berupa bangkai. Cerita bermula dari kemenangan Dewa Indra atas pemerintahan otoriter Raja Mayadenawa yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Akibat peperangan yang terjadi, dunia dianggap leteh, kotor, sehingga perlu dilakukan upacara penyucian yang disebut Asvameda Yadnya yang berarti upacara ‘kurban kuda’.

Ketika itu kuda yang akan dijadikan kurban persembahan adalah Oncesrawa milik Dewa Indra yang digambarkan sebagai kuda sakti berwarna putih dengan ekor hitam sampai menyentuh tanah, bertelinga panjang, dan muncul dari laut. Oncesrawa melarikan diri ketika tahu dirinya akan dijadikan kurban. Dewa Indra kemudian mengutus wong peneges untuk mencari Oncesrawa. Rombongan dibagi dua, ke arah Singaraja dan Karangasem. Oncesrawa ditemukan oleh rombongan Karangasem, namun sudah menjadi bangkai. Mereka memohon kepada Dewa Indra supaya diijinkan tinggal di sekitar bangkai kuda karena kecintaan mereka pada Oncesrawa. Permohonan mereka dikabulkan, ditambah hadiah berupa wilayah seluas bau bangkai kuda tercium. Wong peneges kemudian memotong-motong bangkai kuda, membawanya sejauh mungkin, dan meletakkan setiap bagian di titik yang berbeda karena menginginkan wilayah yang luas. ‘Kecerdikan’ itulah yang menyebabkan Dewa Indra turun untuk mengatakan wilayah yang dikelilingi bau bangkai kuda itu sudah cukup luas untuk mereka.

Wilayah dengan luas 917,2 hektar ini secara administratif merupakan bagian dari Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Membujur arah Utara Selatan, dari perbukitan hingga pantai. Nama Tenganan sendiri sudah terdapat di prasasti Ujung abad ke-11, yang berarti keberadaannya sudah ada sebelum prasasti tersebut dibuat. Orang Tenganan menganut kepercayaan bahwa Dewa Indra adalah dewa dari para dewa. Kepercayaan ini tampak dari struktur desa yang berbentuk jaga satra yang berarti waspada terhadap musuh, sebuah wilayah permukiman seluas 300x800 meter persegi yang dikelilingi benteng dengan empat pintu di selatan, barat, utara, dan timur benteng. Permukiman desa tersusun linear dalam tiga banjar, leretan, yang membujur arah utara selatan, yaitu Banjar Kauh, Tengah,
dan Pande. Pintu pekarangan setiap rumah hanya menghadap dua arah, yaitu barat atau timur ke arah awangan, jalan utama.

Orang Tenganan sejak tahun 1960-an sampai saat ini mempunyai sumber ekonomi ganda, yaitu dari pertanian dan pariwisata. Sebagian besar orang Tenganan, terutama mereka yang tinggal di Banjar Kauh dan Banjar Tengah adalah tuan tanah atau petani pemilik. Kebun atau sawah mereka digarap oleh orang lain dengan sistem nyakap, bagi hasil. Perbandingan jumlah pembagian diatur dalam aturan desa, namun saat ini disesuaikan dengan kesepakatan antara pemilik dan penyakap atau penggarap. Mereka mempercayakan sepenuhnya pengelolaan dan pembagian hasil dari petani penggarap yang tinggal di dalam lahan garapannya, atas ‘perintah’
pemilik tanah. Para pemilik hanya memperhitungkan dan membayar Pajak Bumi dan Bangunan. Khusus untuk sawah, perintah diberikan oleh subak pemilik tanah kepada subak penggarap karena kepemilikannya yang bersifat komunal.

Selain pertanian, orang Tenganan mempunyai sumber ekonomi dari pariwisata. Desa adat ini sudah didatangi oleh wisatawan sejak tahun 1930, yang kemudian pada masa pemerintahan Sukarno ditetapkan secara resmi sebagai daerah tujuan wisata. Pertumbuhan pariwisata di Tenganan semakin pesat terjadi sejak tahun 1980-an. Hampir semua penduduk Tenganan berprofesi sebagai pengrajin untuk pariwisata, yaitu pembuat anyaman, pelukis lontar, dan penenun gringsing, kain khas Tenganan. Hampir semua rumah, terutama di Banjar Kauh yang difungsikan menjadi artshop. Adanya kegiatan baru ini menyebabkan para tuan tanah tidak lagi sempat ‘menengok’ lahan pertanian mereka karena sibuk bekerja untuk pariwisata.

Secara ekonomi, pendapatan dari sektor pariwisata memang lebih menjanjikan dibanding pertanian. Men Wayan misalnya, sampai tahun 2002, dalam sehari ia bisa mendapatkan lima ratus ribu rupiah dari artshop miliknya. Hanya duduk di artshop dari jam delapan pagi sampai lima sore, sambil sesekali membuat kain gringsing, menunggu turis datang untuk membeli barang dagangannya. Ia tidak perlu berjalan jauh ke hutan untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan rumahnya saat ini sudah diisi dengan segala macam barang elektronik berharga mahal, ada juga mobil mewah yang sering terlihat parkir di depan tokonya. Namun, ketika bom diledakan di Bali, pendapatannya jauh berkurang. Sebelum bom pertama, tokonya bisa didatangi hampir seratus orang turis setiap harinya. Setelah bom, ditambah bom
kedua, ia sudah sangat bersyukur jika tokonya didatangi lima orang turis, yang belum tentu membeli satu pun barang dagangannya.

Dulu, sebelum tahun 2002, ia dan suaminya tidak pernah memperdulikan tanah pertanian milik mereka yang terhitung cukup luas. Mereka tidak pernah perduli dengan hasil yang diberikan oleh penggarapnya. Padahal dulu sekali, ketika ia masih kecil, orang tuanya masih sering ke hutan untuk ‘berbicara’ dengan tanaman yang ada di sana. Walaupun tidak secara langsung menggarap tanah miliknya, tetapi orang tuanya sering ke kebun atau sawah untuk ‘menengok’ miliknya dan bertemu dengan penggarapnya. Sekarang mereka harus mulai lagi memikirkan sawah dan kebun mereka karena sektor pariwisata sudah tidak lagi bisa diandalkan. Satu
hal yang diherankan, hasil dari pertanian saat ini jauh menurun dibanding dulu ketika ia masih kecil. Pohon buah-buahan jarang yang menghasilkan. Mungkin karena mereka tidak merasa diperhatikan oleh pemiliknya.

Diakuinya, sejak tahun 1980-an kehidupannya banyak dihabiskan di toko miliknya, tidak lagi ada kesempatan berkumpul dengan ibu-ibu lainnya. Kesempatan itu hanya ada ketika dilakukan upacara adat atau agama. Ia selalu mengikuti semua kegiatan tersebut karena wajib mengikutinya. Terus terang dikatakannya, ia tidak paham kenapa harus melakukan semuanya dengan segala macam sesaji yang harus disiapkan. Men Wayan hanya tahu bahwa ia harus melakukannya dan takut dirinya akan mendapat celaka jika tidak melakukan semunya.

Hal yang hampir sama terjadi pada keluarga I Perit. Bedanya, mereka tidak mempunyai artshop. Selama ini mereka berprofesi sebagai pengulat ata, pembuat kerajinan dari tanaman sejenis rotan. Keadaannya masih jauh lebih baik dibanding keluarga Men Wayan karena mereka tidak terlalu tergantung pada turis yang datang, melainkan pada jumlah pesananan kerajinan yang akan dieksport. Walaupun tidak menurun drastis, kerajinan yang dipesan juga berkurang karena tidak ada penambahan calon pemesan yang biasanya datang sebagai turis.

Hampir semua orang Tenganan belakangan ini mulai merasakan sulitnya mendapatkan uang, ditambah lagi harga kebutuhan pokok dan barang lainnya yang meningkat. Walaupun mereka memiliki lahan sawah, selama ini mereka selalu membeli beras dari pasar, kecuali bagi mereka yang mendapatkan jatah beras desa karena termasuk anggota krama desa adat. Saat ini mereka mulai memikirkan kembali untuk sesekali mengunjungi sawah dan kebun mereka. Syukur kepada para leluhur yang telah membuat awig, aturan desa tertulis bahwa tanah Tenganan tidak boleh dijual atau digadaikan kepada orang luar Tenganan. Bukan hanya itu, ada banyak aturan yang membuat mereka masih tetap memiliki tanah garapan, seperti wilayah permukiman yang tidak boleh diperluas ke luar benteng.

Pemerintahan Otonomi Ala Tenganan Pegringsingan

Leluhur orang Tenganan bisa dikatakan sebagai orang-orang yang berpikir jauh ke depan. Tidak salah jika Korn (1930) memberi judul “The Republic of Tenganan” untuk hasil penelitiannya tentang Tenganan. Desa ini mempunyai sistem pemerintahannya sendiri. Keanggotaan inti dalam desa adat di Tenganan disebut krama desa. Orang Tenganan secara otomatis masuk menjadi krama desa ketika mereka sudah menikah dan pasangannya adalah orang Tenganan asli. Berbeda dengan krama desa lain di Bali, krama desa Tenganan terdiri atas pasangan suami istri, bukan hanya laki-laki sebagai kepala keluarga. Hal itu dikarenakan hak antara
laki-laki dan perempuan di Tenganan adalah sama. Jika salah satu pasangan, suami atau istri meninggal dunia maka mereka tidak lagi berstatus sebagai krama desa. Atau jika anak dari salah satu krama desa menikah, maka pasangan tersebut akan keluar dari keanggotaan desa adat, digantikan oleh anak mereka.

Perkawinan sangat menentukan keanggotaan dan ‘jabatan’ dalam krama desa. Orang Tenganan menerapkan sistem perkawinan endogami, monogami, dan menabukan perceraian. Namun hanya mereka yang tinggal di Banjar Kauh dan Banjar Tengah yang termasuk dalam atau akan menjadi krama desa. Jika orang Banjar Kauh atau Banjar Tengah menikah dengan orang luar (termasuk orang Banjar Pande), mereka akan ‘dipindahkan’ ke Banjar Pande. Selain itu mereka juga tidak lagi berhak mendapatkan warisan atau hak lain di desa adat. Kecuali jika mereka menikah dengan perempuan meborbor, seorang perempuan yang ketika meninggal mayatnya
dibakar dengan ‘damar kurungnya’, yaitu lampu yang terbuat dari kapas dan minyak kelapa dalam tempurung kelapa dengan tutup kain. Misalnya keturunan pasek, bendesa, atau pande. Mereka masih diperbolehkan tinggal di Banjar Kauh atau Banjar Tengah, tetapi tidak mempunyai hak untuk menjadi krama desa. Namun keturunan mereka nantinya diberikan hak kembali untuk menjadi krama desa, jika ia menikah dengan orang Tenganan asli.

Krama desa bertugas untuk melakukan upacara, mengelola pemerintahan dan pembangunan desa. Jabatan dalam krama desa dibagi dalam empat tingkatan yang di dalamnya juga terdiri dari tingkatan pasangan berdasarkan usia perkawinan. Tingkat teratas disebut luanan, terdiri dari enam pasang sebagai penasehat. Dua belas pasang berikutnya disebut bahan roras, dibagi dalam dua kelompok. Enam pasang pertama disebut bahan duluan sebagai keliang desa, pengambil keputusan dalam pemerintahan. Enam pasang berikutnya disebut bahan tebenan yang akan menjadi keliang desa. Tingkat ketiga, dua belas pasang disebut tambalapu roras
yang bertugas menyampaikan informasi kepada warga lainnya. Dalam tingkatan ini juga dibagi dua, enam pasang pertama disebut tambalapu duluan dan enam pasang berikutnya disebut tambalapu tebenan. Urutan pasangan ketiga puluh dan berikutnya disebut pengluduan yang bertugas sebagai pelaksana kegiatan. Mereka yang sudah tidak lagi menjadi krama desa kemudian berstatus sebagai gumi pulangan. Enam pasang ditetapkan sebagai keliang gumi, wakil dalam menyampaikan permasalahan dan hal lain yang dirasakan gumi pulangan. Orang yang berhak menjadi keliang gumi adalah mereka yang masih bersuami atau beristri, bukan duda atau janda, juga berdasarkan urutan perkawinan.

Keliang desa merupakan kelompok terpenting dalam pemerintahan. Keliang desa laki-laki diwajibkan berkumpul setiap malam di Bale Agung untuk membicarakan segala hal yang terjadi. Ketika ada salah satu laki-laki anggota keliang desa tidak bisa hadir, kehadirannya bisa diwakili oleh istrinya. Namun ketika mengahadapi permasalahan di luar pemerintahan harian yang tidak dapat diselesaikan, mereka harus melakukan sangkep, pertemuan desa. Langkah pertama
yang dilakukan adalah mengundang krama desa muani, anggota desa laki-laki. Kemudian keliang desa menyampaikan permasalahan dan pendapat mereka tentang hal tersebut. Ketika ‘diskusi’ dilakukan, kesempatan pertama diberikan kepada luanan, kemudian bahan roras tebenan dilanjutkan oleh pengluduan. Semua pendapat akan ditampung, dibicarakan lagi dan diputuskan oleh keliang desa. Jika mereka belum bisa mengambil keputusan, sangkep akan diulang dengan mengundang keliang gumi. Jika keliang desa belum juga bisa memutuskan, maka pengambilan keputusan dilakukan melalui suara terbanyak. Sangkep ini harus dihadiri oleh
pasangan suami istri yang kesemuanya mempunyai hak yang sama untuk menyatakan
pendapatnya.

Sistem pemerintahan ini bisa dikatakan sebagai pemerintahan demokrasi. Semua orang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin dengan syarat sebuah perkawinan. Namun di dalamnya juga dilakukan pendidikan pemerintahan. Krama desa yang mempunyai kedudukan paling rendah yang berarti usia perkawinanannya paling muda, mempunyai tugas paling berat dalam setiap kegiatan, seperti bertugas mencari perlengkapan upacara yang biasanya berupa berbagai jenis tanaman ke hutan Tenganan. Semakin tinggi jabatannya, ia mempunyai tugas semakin ringan secara fisik, namun dituntut memiliki kemampuan berpikir yang semakin matang.

Sebelum diperbolehkan menikah, setiap orang harus mengikuti pendidikan lokal Tenganan. Truna nyoman untuk organisasi pendidikan laki-laki dan daha untuk organisasi pendidikan perempuan. Keanggotaan truna nyoman berlaku sejak mereka didaftarkan sampai menikah, sementara untuk daha sejak didaftarkan sampai menikah atau maksimal selama tiga belas tahun. Pendidikan yang diberikan untuk laki-laki diantaranya berupa pengenalan wilayah serta pemanfaatannya untuk kepentingan upacara dan pembangunan desa. Sementara pendidikan untuk perempuan diantaranya membuat tenun gringsing dan mekidung, menyanyi lagu pujian. Saat mengikuti pendidikan inilah biasanya anak muda Tenganan menemukan pasangan hidupnya karena ada satu kegiatan yang merupakan bagian dari pendidikan untuk saling menemukan pasangannya.

Hal inilah yang menjadi salah satu sebab keberadaan Tenganan tidak jauh berbeda dengan sepuluh abad yang lalu, terutama dalam luasan wilayah dan fungsinya. Selain tidak boleh dijual atau digadaikan kepada orang luar, pengelolaan semua tanah berada di bawah kekuasaan desa adat. Desa adat mempunyai hak ngerampag, mengambil hasil bumi di babakan, tanah milik pribadi. Pohon yang ada di dalam wilayah Tenganan tidak boleh ditebang sembarangan, terutama pohon nangka, tehep, kemiri, pangi, cempaka, dan durian, termasuk yang berada di atas tanah pribadi. Jika ada pohon tehep, nangka, dan cempaka yang tumbang, maka kayunya menjadi milik desa. Hal tersebut dikarenakan kayu ketiga jenis pohon tersebut sangat kuat, sehingga dapat digunakan oleh desa adat untuk memperbaiki atau membuat ‘fasilitas umum’. Beberapa jenis buah, seperti durian, tehep, pangi, dan kemiri tidak boleh dipetik bahkan oleh pemiliknya sendiri, tetapi harus dibiarkan matang di pohon. Buah yang sudah jatuh baru boleh diambil oleh siapa saja. Kesemuanya ditulis dalam awig desa, termasuk resiko yang harus ditanggung jika hal tersebut dilanggar.

Selain awig desa, Tenganan juga mempunyai perarem, aturan tidak tertulis yang masih dijalankan sampai sekarang. Salah satunya disepakati bahwa orang luar tidak boleh tinggal di dalam wilayah Tenganan, kecuali mereka yang dibutuhkan oleh desa. Termasuk turis yang selalu dianggap bisa mendatangkan keuntungan, juga tidak diperbolehkan untuk tinggal atau menginap di dalam wilayah permukiman desa. Orang luar yang diperbolehkan menginap di desa adalah mereka yang mempunyai hubungan kerja sama dengan desa dan sudah mendapat ijin dari krama desa adat. Mungkin ada yang beranggapan bahwa hal ini rasis atau melanggar HAM, tetapi nyatanya dengan cara seperti ini desa adat Tenganan Pegringsingan masih bisa tetap bertahan dan bisa melindungi orang-orang yang tinggal di dalamnya.

Bali: Masih Perlukah Menuntut Otsus?

Pemerintah Bali mungkin bisa belajar dari apa yang ada dan sudah terjadi di Tenganan. Sebagian orang Tenganan sudah lebih dulu menyadari bahwa hidup dari sektor pariwisata sama dengan hidup bergantung pada orang lain. Mereka kembali ingat pada satu ajaran, bahwa jauh lebih baik hidup dengan segala sesuatu yang kita miliki dibanding hidup tergantung pada orang lain. Sebagian orang Tenganan merasakan, diakui atau tidak pariwisata justru lebih banyak mengakibatkan dampak negatif daripada positifnya, terutama dalam hal pola pikir. Saat ini sebagian besar dari mereka hanya berpikir bagaimana mendapatkan banyak uang (dari orang lain), tidak lagi memelihara sumberdaya alam yang dimilikinya. Semakin lama orang Tenganan semakin tidak peduli dengan orang lain dan kondisi lingkungan di sekitarnya. Upacara adat dan agama hanya sekedar dijalankan tanpa mau tahu makna dibalik semuanya. Orang Tenganan semakin jauh dengan alam, tidak salah jika pada akhirnya alam juga menjauhi mereka, walaupun kondisi lingkungan secara global juga sangat mempengaruhi.

Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa industri pariwisata saat ini justru memiskinkan rakyat Bali karena banyaknya investor asing dan luar Bali lainnya yang dominan. Padahal kata para pakar pariwisata, pembangunan pariwisata ditujukan untuk kesejahteraan rakyat dan mengentaskan kemiskinan. Ternyata pertumbuhan ekonomi tidak selalu berhubungan langsung dengan kesejahteraan dan pengentasan kemiskinan. Menurut Prof. Dr. Nyoman Sutjipta dalam Bali Post (22 September 2005) kepariwisataan Bali saat ini justru asyik mengeruk keuntungan dari kebudayaan, sementara rakyat kecillah yang mengeluarkan biaya dari kantong mereka sendiri untuk melestarikan budaya. Ironisnya, bukan hanya mengeluarkan biaya, bahkan mereka tidak paham atas apa yang mereka lakukan.

Sebelum menjadikan pariwisata sebagai dewa, mungkin sebaiknya pemerintah Bali belajar juga ke Tenganan tentang sistem pemerintahan dan pengelolaan wilayahnya. Pemerintahan dijalankan atas sitem demokrasi dengan hak dan kesempatan yang sama untuk setiap orang, tanpa ada embel-embel KKN, melalui pendidikan dan pengalaman bermasyarakat, dengan syarat-syarat tertentu. Mungkin diperlukan juga adanya koordinasi reguler inter dan antar instansi, sehingga tidak ada jawaban, “Kami tidak tahu, itu tanggung jawab si ‘anu’ …” Sangat disayangkan jika dalam sepuluh abad ke depan hanya Tenganan yang masih bisa bertahan. Tetapi, bagaimana Tenganan bisa bertahan sementara wilayahnya menjadi bagian dari pulau yang masih menjadikan pariwisata sebagai dewa? Pariwisata memang diperlukan untuk meningkatkan pendapatan, tetapi harus dikaitkan dengan pemerintahan dan pengelolaan wilayah yang semestinya. Orang Tenganan sangat beruntung karena ketika turis tidak lagi datang, mereka masih memiliki lahan pertanian. Bagaimana jika leluhur orang Tenganan tidak membuat aturan yang ketat, sehingga wilayah seluas lebih dari 900 hektar itu bisa dialihfungsikan semaunya?

Saya pernah membaca beberapa kalimat dalam Bali Post (22 Oktober 2005), tulisan Prof. Adnyana Manuaba bahwa sebaiknya belajarlah menemukan dan mengatasi masalah Bali ketimbang sekedar menuntut hak. Menyodok dan menyalahkan kinerja orang lain bukanlah sekedar strategi, tetapi cermin ketidakpahaman atas jati diri kita. Orang Bali haruslah memahami masalah dirinya terlebih dulu untuk bisa mencari solusi atas masalah itu. Otsus mungkin memang diperlukan, tetapi jangan menjadikannya pembungkus dari misi untuk mendapat hak atas kontribusi kepariwisataan, bukan mengelola wilayah Bali dengan baik untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Apa pun istilahnya, ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk kesejahteraan dan kedamaian orang Bali, sepanjang kita bisa membangun empati, berusaha menempatkan diri pada pribadi orang lain kemudian bisa memahami orang tersebut, dan tidak hanya berempati terhadap mereka yang dianggap bisa mendatangkan keuntungan ekonomi.

Disiapkan oleh Ambarwati K. Simpul Bali

0 Comments:

Post a Comment

<< Home